Kamis, 05 Maret 2009

Berita Tebaru Pada Kalangan Remaja






Hy N q MuniF q nak ae( madiun ) Kamu bisa meliat berita terbaru pada kalangan remaja mulai dari yang terbaik hingga yang paling buruk dalam kalangan remaja.

Remaja Di Himbau Tak Berlebihan Peringati Valentine Day


Jakarta (ANTARA News) - Kalangan remaja diimbau agar tidak berlebihan dalam memperingati Valentine Day, apalagi mengarah pada perbuatan negatif.

"Apalagi sampai bersifat hura-hura atau menjurus pesta-pesta yang berbau kebatilan," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Idy Muzayyad di Jakarta, Jumat.

IPNU mengajak para pelajar dan remaja memahami kesulitan orang tua dengan tidak menghamburkan uang untuk sesuatu yang mubazir berkenaan dengan Valentine Day atau biasa disebut Hari Kasih Sayang itu.

"Soal kasih sayang kan diajarkan sepanjang zaman, setiap waktu, mengapa harus terjebak hanya pada 14 Maret," Ini kan pembelokan nilai kemanusiaan," katanya.

Idy mengatakan, selama ini perayaan Valentine Day cenderung disalahartikan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang kontraproduktif dengan etika keindonesiaan.

Pelajar dan remaja, katanya, seringkali terjebak pada mitos hari kasih sayang itu, dan mewujudkan mitos itu dalam bentuk tindakan yang tidak tepat, misalnya pesta narkoba atau seks.

Kepada kalangan remaja Islam, IPNU menyarankan agar mereka sebaiknya mempersiapkan diri menyambut Maulid Nabi yang jatuh pada 9 Maret mendatang, daripada memperingati Valentine Day.

"Itu jelas bermanfaat karena pelajar dan remaja harus mengenal keteladanan Rasulullah sebagai uswatun hasanah atau suri tauladan yang baik," katanya.



30 Persen Pelaku Aborsi di Indonesia Adalah Remaja



Jumlah kasus pengguguran kandungan (aborsi) di Indonesia, setiap tahun mencapai 2,3 juta, 30 persen diantaranya dilakukan oleh remaja. "Kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) pada remaja menunjukkan kecenderungan meningkat antara 150.000 hingga 200.000 kasus setiap tahun," kata Luh Putu Ikha Widani dari Kita Sayang Remaja (Kisara) Bali, di Denpasar, Senin (16/2). Ia mengatakan, survei yang dilakukan pada sembilan kota besar di Indonesia menunjukkan bahwa KTD mencapai 37.000 kasus, 27 persen diantaranya terjadi dalam lingkungan pranikah dan 12,5 persen adalah pelajar. Hingga saat ini, KTD di kalangan remaja masih menjadi dilema yang belum terselesaikan. Banyak kalangan yang pada akhirnya memojokkan remaja sebagai pelaku tunggal. "Jika dicermati lebih jauh munculnya KTD di kalangan remaja adalah akumulasi dari serangkaian ketidakberpihakan berbagai kalangan terhadap remaja," ujar Ikha Widani. Hambatan lain menyangkut upaya memberikan informasi kesehatan reproduksi yang cukup dan mendalam, serta semakin banyaknya remaja yang terjebak oleh mitos dibanding dengan fakta. Untuk itu langkah awal, perlunya upaya meningkatkan akses remaja terhadap informasi yang benar dengan merangkul berbagai kalangan, termasuk media massa. Ikha Widani menjelaskan, selain kehamilan yang tidak diinginkan perlu mendapat menanganan secara serius, juga menyangkut penderita HIV/Aids, mengingat 50 persen lebih menimpa kelompok usia 19-25 tahun dengan kondisinya semakin mengkhawatirkan. Berbagai hasil penelitian menunjukkan, sekitar 28,5 persen para remaja telah melakukan hubungan seksual sebelum nikah dan sepuluh persen diantaranya akhirnya menikah dan memiliki anak, ujar Ikha Widani.



Cegah Bullying Sejak Dini



DI tahun 2007, beberapa kali kita dikejutkan oleh serangkaian berita-berita tentang kekerasan di sekolah dan geng remaja. Diawali dengan berita tentang Cliff Muntu-siswa STPDN, dan diakhiri dengan berita tentang geng Gazper di SMA 34 Pondok Labu. Ternyata di tahun 2008 kekerasan di kalangan remaja masih saja terjadi, berita yang terbaru adalah tentang ritual perpeloncoan geng remaja putri Nero dari Pati, kota kecil di Jawa Tengah dan kekerasan remaja putri di Kalimantan Tengah.

Seringkali kita merasa ngeri, prihatin dan tidak percaya dengan adanya fakta-fakta tersebut. Namun, tampaknya kekerasan memang telah menjadi bagian dari kehidupan remaja kita. Kekerasan antar sebaya atau bullying merupakan suatu tindak kekerasan fisik dan psikologis yang dilakukan seseorang atau kelompok, yang dimaksudkan untuk melukai, membuat takut atau membuat tertekan seseorang (anak atau siswa) lain yang dianggap lemah, yang biasanya secara fisik lebih lemah, minder dan kurang mempunyai teman, sehingga tidak mampu memertahankan diri. Alasan bullying seringkali tidak jelas, biasanya menggunakan kedok perpeloncoan, penggemblengan mental, ataupun aksi solidaritas.

Sebenarnya bullying tidak hanya meliputi kekerasan fisik, seperti memukul, menjambak, menampar, memalak, dll, tetapi juga dapat berbentuk kekerasan verbal, seperti memaki, mengejek, menggosip, dan berbentuk kekerasan psikologis, seperti mengintimidasi, mengucilkan, mendiskriminasikan. Berdasarkan sebuah survei terhadap perlakuan bullying, sebagian besar korban melaporkan bahwa mereka menerima perlakuan pelecehan secara psikologis (diremehkan). Kekerasan secara fisik, seperti didorong, dipukul, dan ditempeleng lebih umum di kalangan remaja pria.

Ada dua jenis pelaku bullying. Pertama, adalah pelaku utama, yaitu pihak yang merasa lebih berkuasa dan berinisiatif melakukan tindak kekerasan baik secara fisik maupun psikologis terhadap korban, dan kedua adalah pelaku pengikut, yaitu pihak yang ikut melakukan bullying berdasarkan solidaritas kelompok atau rasa setia kawan, konformitas, tuntutan kelompok, atau untuk mendapatkan penerimaan atau pengakuan kelompok. Di luar pihak pelaku dan korban sebenarnya ada sekelompok saksi, dimana saksi ini biasanya hanya bisa diam membiarkan kejadian berlangsung, tidak melakukan apapun untuk menolong korban, bahkan seringkali mendukung perlakuan bullying. Saksi cenderung tidak mau ikut campur disebabkan karena takut menjadi korban berikutnya, merasa korban pantas dibully, tidak mau menambah masalah atau tidak mau tahu.

Sebagai bagian dari masyarakat dan secara khusus sebagai orang tua, pasti kita bertanya-tanya mengapa remaja kita (bahkan remaja putri) dapat menjadi pelaku bullying, melakukan seangkaian kekerasan kepada sesama temannya. Perjalanan seorang anak tumbuh menjadi remaja pelaku agresi cukup kompleks, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor; biologis, psikologis dan sosialkultural. Secara biologis, ada kemungkinan bahwa beberapa anak secara genetik cenderung akan mengembangkan agresi dibanding anak yang lain. Dalam bukunya Developmental Psychopathology, Wenar & Kerig (2002) menambahkan bahwa agresi yang tinggi pada anak-anak dapat merupakan hasil dari abnormalitas neurologis.

Secara psikologis, anak yang agresif kurang memiliki kontrol diri dan sebenarnya memiliki ketrampilan sosial yang rendah; anak-anak ini memiliki kemampuan perspective taking yang rendah, empati terhadap orang lain yang tidak berkembang, dan salah mengartikan sinyal atau tanda-tanda sosial, mereka yakin bahwa agresi merupakan cara pemecahan masalah yang tepat dan efektif. Jika kita runut dari lingkungan keluarga, anak-anak yang mengembangkan perilaku agresif tumbuh dalam pengasuhan yang tidak kondusif; anak mengalami kelekatan (attachment) yang tidak aman dengan pengasuh terdekatnya, orang tua menerapkan disiplin yang terlalu keras ataupun terlalu longgar, dan biasanya ditemukan masalah psikologis pada orang tua; konflik suami-istri, depresi, bersikap antisosial, dan melakukan tindak kekerasan pada anggota keluarganya.

Terjadinya kekerasan antar sebaya semakin menguat mengingat adanya faktor pubertas dan krisis identitas, yang normal terjadi pada perkembangan remaja. Dalam rangka mencari identitas dan ingin eksis, biasanya remaja lalu gemar membentuk geng. Geng remaja sebenarnya sangat normal dan bisa berdampak positif, namun jika orientasi geng kemudian ’menyimpang’ hal ini kemudian menimbulkan banyak masalah. Dari relasi antar sebaya juga ditemukan bahwa beberapa remaja menjadi pelaku bullying karena ’balas dendam’ atas perlakuan penolakan dan kekerasan yang pernah dialami sebelumnya (misalnya saat di SD atau SMP).

Lingkungan secara makro pun turut berpengaruh terhadap munculnya bullying, baik secara langsung mauun tidak langsung. Secara sosiokultural, bullying dipandang sebagai wujud rasa frustrasi akibat tekanan hidup dan hasil imitasi dari lingkungan orang dewasa. Tanpa sadar, lingkungan memberikan referensi kepada remaja bahwa kekerasan bisa menjadi sebuah cara pemecahan masalah. Misalnya saja lingkungan preman yang sehari-hari dapat dilihat di sekitar mereka dan juga aksi kekerasan dari kelompok-kelompok massa. Belum lagi tontotan-tontonan kekerasan yang disuguhkan melalui media visual. Walaupun tak kasat mata, budaya feodal dan senioritas pun turut memberikan atmosfer dominansi dan menumbuhkan perilaku menindas.

Bullying harus diperangi. Bagaimanapun juga kita tidak dapat membiarkan generasi penerus kita menjadi penjahat-penjahat hak asasi manusia. Untuk mencegah dan menghambat munculnya tindak kekeraran di kalangan remaja, diperlukan peran dari semua pihak yang terkait dengan lingkungan kehidupan remaja. Sedini mungkin, anak-anak memperoleh lingkungan yang tepat. Keluarga-keluarga semestinya dapat menjadi tempat yang nyaman untuk anak dapat mengungkapkan pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaannya. Orang tua hendaknya mengevaluasi pola interaksi yang dimiliki selama ini dan menjadi model yang tepat dalam berinteraksi dengan orang lain. Berikan penguatan atau pujian pada perilaku pro sosial yang ditunjukkan oleh anak. Selanjutnya dorong anak untuk mengambangkan bakat atau minatnya dalam kegiatan-kegiatan dan orang tua tetap harus berkomunikasi dengan guru jika anak menunjukkan adanya masalah yang bersumber dari sekolah.

Untuk mencegah dan menekan tindakan bullying di sekolah, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah, terutama di sekolah dasar sebagai lingkungan pendidikan formal pertama bagi anak. Selama ini, kebanyakan guru tidak terlalu memperhatikan apa yang terjadi di antara murid-muridnya. Sangat penting bahwa para guru memiliki pengetahuan dan ketrampilan mengenai pencegahan dan cara mengatasi bullying. Kurikulum sekolah dasar semestinya mengandung unsur pengembangan sikap prososial dan guru-guru memberikan penguatan pada penerapannya dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Sekolah sebaiknya mendukung kelompok-kelompok kegiatan agar diikuti oleh seluruh siswa. Selanjutnya sekolah menyediakan akses pengaduan atau forum dialog antara siswa dan sekolah, atau orang tua dan sekolah, dan membangun aturan sekolah dan sanksi yang jelas terhadap tindakan bullying.

Bahasa Gaul


Bahasa Gaul atau dikenal juga sebagai Bahasa Prokem adalah dialek bahasa indonesia non-formal yang terutama digunakan di daerah perkotaan umumnya oleh kalangan remaja, dan kalangan muda di Indonesia, khususnya di daerah perkotaan. Bahasa ini pada mulanya berasal dari bahasa percakapan yang biasa digunakan kalangan-kalangan tertentu, seperti homoseksual dan waria. Penggunaan bahasa gaul menjadi lebih dikenal khalayak ramai setelah Debby Sahertian mengumpulkan kosa-kata yang digunakan dalam komunitas tersebut dan menerbitkan kamus yang bernama Kamus Bahasa Gaul pada tahun 1999.

Sejarah

Bahasa gaul merupakan salah satu cabang dari bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk pergaulan. Istilah ini mulai muncul pada akhir ahun 1980-an. Pada saat itu bahasa gaul dikenal sebagai 'bahasanya para bajingan atau anak jalanan' disebabkan arti kata prokem dalam pergaulan sebagai preman.

Saat ini bahasa gaul telah banyak terasimilasi dan menjadi umum digunakan sebagai bentuk percakapan sehari-hari dalam pergaulan di lingkungan sosial bahkan dalam media-media populer serperti TV, radio, dunia perfilman nasional, dan seringkali pula digunakan dalam bentuk publikasi-publikasi yang ditujukan untuk kalangan remaja oleh majalah-majalah remaja populer. Karena jamaknya, terkadang dapat disimpulkan bahasa gaul adalah bahasa utama yang digunakan untuk komunikasi verbal oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari , kecuali untuk kebutuhan formal. Karenanya akan menjadi terasa 'aneh' untuk berkomunikasi secara verbal dengan orang lain menggunakan bahasa indonesia formal.

Bahasa gaul adalah bahasa yang senantiasa berkembang, banyak sekali kata-kata yang menjadi kuno atau pun usang disebabkan trend dan perkembangan jaman.

Pergaulan Bebas Kalangan Remaja, WASPADA!
 

Masa remaja adalah masa yang paling berseri. Di masa remaja itu juga proses pencarian jati diri. Dan, disanalah para remaja banyak yang terjebak dalam pergaulan bebas.

Menurut Program Manajer Dkap PMI Provinsi Riau Nofdianto seiring Kota Pekanbaru menuju kota metropolitan, pergaulan bebas di kalangan remaja telah mencapai titik kekhawatiran yang cukup parah, terutama seks bebas. Mereka begitu mudah memasuki tempat-tempat khusus orang dewasa, apalagi malam minggu. Pelakunya bukan hanya kalangan SMA, bahkan sudah merambat di kalangan SMP. ‘’Banyak kasus remaja putri yang hamil karena kecelakan padahal mereka tidak mengerti dan tidak tahu apa resiko yang akan dihadapinya,’’ kata cowok yang disapa Mareno ini pada Xpresi, Rabu (20/8) di ruang kerjanya. 

Sejak berdirinya Dkap PMI tiga tahun lalu, kasus HIV dan hamil di luar nikah terus mengalami peningkatan. Setiap bulan ada 10-20 kasus. Mereka yang sebagian besar kalangan pelajar dan mahasiswa ini datang untuk melakukan konseling tanpa didampingi orang tua. ‘’Rata-rata mereka berusia 16-23. Bahkan ada yang berusia 14 tahun datang ke Dkap untuk konsultasi bahwa ia sudah hamil. Mereka yang melakukan konseling, ada datang sendiri, ada juga dengan pasangannya. Sebagian besar orang tua mereka tidak tahu,’’ ujarnya.

Meskipun begitu, lanjutnya para remaja yang mengalami ‘kecelakaan’ ini tak boleh dijauhi dan dibenci. ‘’Kita tidak pernah melarang mereka untuk melakukan hubungan seks, karena ketika dilarang atau kita menghakimi, mereka akan menjauhi kita. Makanya, Dkap disini merupakan teman curhat mereka dan kita memberikan solusi bersama. Seberat apapun masalahnya, kalau bersama bisa diatasi,’’ ungkapnya lagi. 
Bukan hanya remaja nakal saja yang terjebak, anak baik pun bisa kena. ‘’Anak baik yang disebut anak rumah pun ada yang mengalami ‘kecelakaan’,’’ ucapnya.

Oleh sebab itu, sangat diperlukan pancegahan dini dengan memberikan pengetahuan seks. ‘’Pendidikan seks itu sangat penting sekali. Tapi, di masyarakat kita pendidikan seks itu masih dianggap tabu. Berdasarkan pengamatan kami, banyaknya remaja yang terjebak seks bebas ini dikarenakan mereka belum mengetahui tentang seks. Seks itu bukan hanya berhungan intim saja. Tapi, banyak sekali, bagaimana merawat organ vital, mencegah HIV dan lainnya. Pelajari seks itu secara benar supaya kita bisa hidup benar,’’ tuturnya.

Sementara itu, Martha Sari Uli pelajar SMAN 4 Pekanbaru mengaku interaksi bebas di kalangan remaja dalam pergaulan bebas, identik dengan kegiatan negatif. ‘’Banyak anak-anak remaja beranggapan bahwa masa remaja adalah masa paling indah dan selalu menjadi alasan sehingga banyak remaja yang menjadi korban dan menimbulkan sesuatu yang menyimpang,’’ ungkapnya ketika diminta komentarnya mengenai pergaulan bebas di kalangan remaja. 

Senada dengan itu, Debora Juliana juga pelajar SMAN 4 Pekanbaru mengatakan pergaulan bebas itu saat ini sudah tidak tabu lagi, dan banyak remaja yang menjadikannya budaya modern. ‘’Pergaulan bebas berawal ketika remaja mulai melakukan perbuatan yang keluar dari jalur norma-norma yang berlaku di sekitar kehidupan kita. Sekarang banyak banget anak-anak seumuran kita sudah keluar dari jalurnya,’’ ujar cewek kelahiran 18 Juli 1993. ‘’Kalo aku nggak pernah melakukan hal tersebut dan jangan sampai lah,’’ tambahnya.

Di tempat terpisah, Ketua MUI Provinsi Riau Prof Dr H Mahdini MA mengatakan data yang ditemukan lebih banyak lagi anak-anak yang melakukan seks bebas. Maka diperlukan pencegahan. ‘’Saya meminta semua kalangan, baik para pendidik, orang tua, dan tokoh masyarakat agar memfungsikan tugas-tugas sosialnya,’’ pintanya.
Banyaknya kalangan remaja yang melakukan seks bebas, lanjutnya diindikasikan ada jaringan tertentu yang menggiring anak-anak ke hal yang negatif. Oleh karena itu, MUI menghimbau untuk menutup tempat yang berbau maksiat. ‘’Menutup tempat maksiat itu jauh lebih penting demi generasi muda,’’ sarannya.

Ditingkat pergaulan dalam kondisi hari ini, anak-anak bisa saja berbohong. Oleh sebab itu, sambungnya pengawasan orang tua harus diperketat. Tentu saja contoh perilaku orang tua sangat berperan.

Ia berharap, semua sekolah-sekolah tanpa terkecuali memperkuat kembali kehidupan beragama. ‘’Kita harus menanamkan nilai-nila agama sejak dini sehingga mereka memiliki kepribadian yang kuat,’’ katanya.

Hal yang sama juga diutarakan Drs Ali Anwar, kepala SMA 5 Pekanbaru. Menurutnya, akibat perkembangan zaman, ketika agama tidak lagi menjadi pokok dalam kehidupan banyak remaja yang terjebak dalam pergaulan bebas. ‘’Solusinya, kuatkan lagi ajaran agama. Baik di sekolah maupun di rumah agama merupakan kebutuhan pokok,’’ ucapnya.
Selain itu, orang tua harus lebih memperhatikan anaknya. ‘’Orang tua dan anak harus selalu berkomunikasi. Sehingga tahu persoalan anak,’’ ungkapnya.

Menyikapi hal ini, kepala Dinas Pendidikan Provinsi Riau, Drs HM Wardan MP mengatakan akan melakukan komunikasi dengan dinas pendidikan kabupaten/kota untuk membuat surat edaran ke sekolah-sekolah dalam mengantisipasi hal tersebut. ‘’Kita berharap jangan sampai terjadi hal tersebut karena akan merusak diri sendiri, sekolah, agama dan daerah